Kisah Tragedi Mei 1998 Yang Akan Terlupakan

0 51

Oleh : Johan Alamsyah, S.E.
Aktivis 1988.

Bandar Lampung (MI-NET) – Pada Kamis, tanggal 29 Mei Tahun 1997 diselenggarakan Pemilu Legislatif yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh mantan Menteri Dalam Negeri, Rudini, dan diikuti 3 Partai saat itu, GOLKAR, PPP, PDI.

Beberapa hari setelah pemungutan suara, Selasa, 3 Juni 1997, LPU mengumumkan pemenang :

  1. GOLKAR : 74,51%
  2. PPP : 22,43%
  3. PDI : 3,06%, Sesuai dengan mekanisme cepat yang diterapkan pada masa itu.

Namun, hasil ini banyak menuai kritik karena dinilai sarat manipulasi dan tidak mencerminkan aspirasi rakyat secara jujur dan adil, dan memicu ketidakpuasan publik.

Beberapa bulan kemudian di Tahun 1998, pada hari Selasa, tanggal 10 Maret 1998 MPR mengadakan Sidang Umum dan menetapkan Soeharto sebagai Presiden.
Rabu, 11 Maret 1998, Presiden Soeharto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia masa jabatan ke tujuh.


Pada hari Senin tanggal 16 Maret 1998 Presiden Soeharto mengumumkan dan melantik Menteri Jajaran Kabinet Pembangunan VII dan salah satu Menterinya adalah Siti Hardijanti Rukmana atau mbak Tutut sebagai Menteri Sosial Republik Indonesia.

Penunjukan Mbak Tutut sebagai menteri saat itu menuai banyak kritik, karena dianggap sebagai bentuk nepotisme yang kemudian menjadi salah satu pemicu utama gerakan Reformasi 1998.

Mulai timbul gejolak di masyarakat, dimulai tanggal 4 Mei 1998 aksi demonstrasi mahasiswa di mana-mana.
Terutama Jakarta, Bandung, Surabaya,Yogyakarta, tapi masih sebatas di dalam kampus.


Jum’at 8 Mei 1998 aksi demonstrasi mahasiswa mulai keluar kampus dan berbaur dengan berbagai organisasi dan masyarakat. Akibat tekanan ekonomi, krisis politik dan frustasi terhadap pemerintahan saat itu maka aksi demonstrasi semakin memuncak. Demontrasi mahasiswa dan berbagai organisasi semakin masif.

Pada hari Selasa, 12 Mei 1998 aksi damai demonstrasi mahasiswa dilaksanakan di Kampus Trisakti, saat ditengah aksi, tiba-tiba dari pengeras suara terdengar teriakan “bubar.. bubar.. bubar.. sniper ada dimana-mana”.

Hari itu menjadi peristiwa penting dalam sejarah Reformasi.
Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak, Elang Mulia Lesmana, Fak. Arsitektur,(luka tembak dada kiri), Heri Hertanto, Fak. Teknik Sipil, (luka tembak punggung kanan tembus dada), Hapidin Royan, Fak. Teknik Sipil ( luka tembak kepala bagian belakang), Hendrawan Sie, Fak. Ekonomi, (luka tembak kepala bagian kiri), saat berdemo secara damai di Jakarta. Ini menjadi titik balik penting yang memicu kemarahan nasional. Aksi massa semakin tak terbendung dan terjadi di seluruh Indonesia.

Rabu, 13 Mei 1998, Terjadi kerusuhan sosial besar-besaran di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, aksi penjarahan dan pembakaran. Ini membuat tekanan terhadap Presiden Soeharto semakin kuat.

Senin 18 Mei 1998, aksi demonstrasi mahasiswa dari berbagai organisasi dan elemen masyarakat serta aktivis mulai turun di jalan-jalan, terutama Jakarta dan sekitarnya, saat itu didengungkan aksi demonstrasi akan mengepung istana presiden pada hari Rabu, 20 Mei 1998 dan titik kumpul seluruh masyarakat dari seluruh Indonesia di Monas Jakarta.

Selasa, 19 Mei 1998 beredar selebaran dan seruan yang berisi ajakan demonstrasi kepada seluruh masyarakat di Jabodetabek untuk turun ke jalan dan mengepung istana presiden dan mendesak Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Selebaran dan himbauan tersebut disebarkan oleh berbagai elemen gerakan mahasiswa, organisasi ekstra kampus, aktivis dan radio swasta yang pro reformasi.
Ajakan itu merupakan bagian aksi dari mobilisasi massa besar-besaran.

Pergerakan dan mobilisasi pasukan TNI/Polri dimulai pagi hari, akses menuju monas disekat-sekat, pagar kawat berduri, alat-alat dan prajurit TNI/Polri dimana-mana, KRL tidak boleh berhenti disekitaran istana presiden, jalan ke arah istana ditutup. Situasi mencekam.

Rabu, 20 Mei 1998, dimulai jam 6 pagi, sebagian mahasiswa menuju monas, sebagai pengalihan. Saat itu pasukan TNI/POLRI, Masyarakat, media massa semua terfokus ke Monas dan Istana Presiden.

Di saat yang sama, aksi mahasiswa, organisasi masyarakat, elemen masyarakat dan para aktivis bergerak menuju Gedung DPR/MPR. Jalanan di Jakarta lumpuh total, kendaraan tidak bisa bergerak dijalan, sehingga mobilisasi pasukan menuju Gedung DPR/MPR terhambat. Ribuan mahasiswa, organisasi masyarakat, elemen masyarakat dan aktivis sudah berkumpul mengepung gedung DPR.

Pada hari Rabu, tanggal 20 Mei 1998, mahasiswa berhasil masuk dan menduduki Gedung DPR/MPR RI di Senayan sekitar pukul 15.00 WIB (jam 3 sore).
Ribuan mahasiswa dari berbagai Universitas di Jakarta dan luar Kota Jakarta memaksa masuk melalui gerbang utama dan gerbang belakang, segala macam cara dilakukan ribuan massa saat itu untuk masuk gedung DPR/MPR.

Setelah bernegosiasi dengan aparat keamanan, sehingga tidak terjadi bentrokan yang tentunya akan menimbulkan korban jiwa yang besar, dikarenakan sebagian besar aparat TNI siaga di Gedung DPR/MPR saat itu memilih mundur atau membiarkan mereka masuk. Sehingga mahasiswa, organisasi masyarakat, elemen masyarakat dan aktivis bisa menguasai Gedung DPR/MPR Senayan.

Peristiwa ini menjadi momen simbolis dan sejarah pergerakan reformasi di Indonesia, sebagai puncak tekanan publik terhadap pemerintah rezim Orde Baru. Salah satu tonggak penting dalam sejarah Gerakan Reformasi 1998.

Pada hari Kamis, 21 Mei 1998, Presiden Soeharto secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul 09.00 WIB.

Pengumuman tersebut disampaikan langsung oleh Soeharto di Istana Merdeka, Jakarta, melalui siaran televisi nasional. Dalam pidatonya yang singkat, Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden saat itu, B.J. Habibie, sesuai Pasal 8 UUD 1945.

Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang telah berlangsung selama 32 tahun, sejak Soeharto naik ke tampuk kekuasaan pada 1966.
Wakil Presiden B.J. Habibie resmi menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ke-3, dilantik di Istana Negara.
Ribuan mahasiswa masih menduduki Gedung DPR/MPR menuntut pembentukan pemerintahan transisi dan pembaruan sistem politik.
Mahasiswa menyambut pengunduran diri Soeharto dengan suka cita, tetapi sebagian tetap skeptis terhadap pemerintahan baru karena Habibie merupakan bagian dari Orde Baru.
Beberapa bentrokan kecil terjadi, tetapi akhirnya mahasiswa secara damai keluar dari gedung pada 25 Mei 1998.

Periode setelah 21 Mei 1998 menjadi masa transisi penuh tantangan, dengan krisis ekonomi, konflik sosial, dan pembenahan sistem politik. Namun, ini juga menjadi tonggak penting lahirnya Era Reformasi di Indonesia.

Akankah kejadian dan pengorbanan pada tragedi di Bulan Mei 1998 Terlupakan ?.

Leave A Reply

Your email address will not be published.