Oleh: Zuli Hendriyanto Syahrin
KTT BRICS Ke-17 di Rio de Janeiro, Brasil, 6-7 Juli 2025, dalam pandangan saya, sebagai sebuah tonggak sejarah yang sangat signifikan, bukan hanya bagi negara-negara anggotanya, tetapi juga bagi peta geopolitik dan ekonomi global secara keseluruhan.
Perluasan Keanggotaan: Era Baru Multipolaritas
Perluasan keanggotaan BRICS dengan masuknya Mesir, Etiopia, Indonesia, Iran, dan Uni Emirat Arab, saya nilai sebagai langkah strategis yang sangat cerdas.
Terus terang, saya bangga melihat Indonesia menjadi bagian dari BRICS. Ini bukan hanya sekedar penambahan jumlah negara, tetapi lebih dari itu, ini adalah perwujudan nyata dari pergeseran kekuatan global menuju tatanan multipolar.
Masuknya negara-negara dengan pengaruh regional yang kuat seperti Indonesia di Asia Tenggara, Mesir di Afrika Utara dan Timur Tengah, serta Iran di Timur Tengah, semakin memperkuat posisi BRICS sebagai representasi suara “Global Selatan”.
Ini menunjukkan bahwa BRICS bukan lagi sekadar klub negara-negara berkembang, tetapi sebuah kekuatan yang mampu menantang dominasi tatanan lama yang dipimpin Barat.
Pergeseran ini bukan hanya tentang jumlah populasi atau GDP, melainkan juga tentang redefinisi narasi global, di mana agenda pembangunan dan keadilan ekonomi tidak lagi didikte oleh satu kutub kekuatan, melainkan diperjuangkan bersama oleh suara kolektif Global Selatan.
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam KTT ini juga sangat krusial. Ini menegaskan komitmen Indonesia untuk berperan aktif dalam diplomasi ekonomi dan politik global, mencari keseimbangan dan peluang di tengah ketidakpastian dunia.
Keikutsertaan Presiden Prabowo juga mengirimkan sinyal kuat bahwa Indonesia siap menjadi jembatan penghubung antar peradaban dan ekonomi, memanfaatkan posisinya yang strategis di Asia Tenggara untuk memperkuat kolaborasi Selatan-Selatan.
Agenda dan Deklarasi Rio de Janeiro: Komitmen pada Kedaulatan dan Inklusivitas
Tema KTT Memperkuat Kerja Sama Global Selatan untuk Tata Kelola yang Lebih Inklusif dan Berkelanjutan, sangat relevan dengan semangat zaman. Saya melihat ini sebagai peluang besar untuk menciptakan lingkungan perdagangan dan investasi yang lebih adil dan tidak terlalu bergantung pada mata uang atau sistem yang dominan.
Saya mendukung dorongan untuk reformasi institusi global seperti Dewan Keamanan PBB, IMF, dan WTO. Sudah saatnya lembaga-lembaga ini mencerminkan realitas kekuatan ekonomi dan politik saat ini, bukan hanya warisan dari era pasca-Perang Dunia II. Suara Global Selatan harus didengar dan diakomodasi.
Reformasi ini dapat mencakup peningkatan representasi negara-negara berkembang dalam pengambilan keputusan, peninjauan ulang kuota suara, serta penyesuaian mandat agar lebih relevan dengan tantangan abad ke-21.
Selain itu, reformasi harus mencakup mekanisme akuntabilitas yang lebih transparan dan adil, memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mayoritas negara anggota, bukan hanya kepentingan segelintir kekuatan
Poin tentang denasionalisasi dolar dan pembentukan Dana Jaminan Multilateral BRICS melalui New Development Bank (NDB) sangat menarik bagi saya.
Upaya denasionalisasi dolar ini dapat terwujud melalui beberapa mekanisme konkret:
Pertama, pengembangan mata uang cadangan bersama oleh negara-negara BRICS, mirip dengan Special Drawing Rights (SDR) IMF namun dengan fokus pada stabilitas dan kepentingan negara anggota.
Kedua, peningkatan substansial dalam penggunaan mata uang lokal untuk transaksi perdagangan bilateral, yang secara bertahap mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
Ketiga, penciptaan sistem pembayaran lintas batas yang independen dari SWIFT, seperti perluasan jangkauan dan fungsionalitas CIPS (Cross-Border Interbank Payment System) milik Tiongkok atau pengembangan platform BRICS Pay yang terintegrasi.
Tantangan utamanya tentu adalah koordinasi kebijakan moneter di antara negara-negara anggota dengan ekonomi yang beragam, serta penerimaan global terhadap alternatif mata uang atau sistem pembayaran ini
Ini menunjukkan upaya nyata untuk mengurangi ketergantungan pada satu mata uang dan mencari alternatif yang lebih stabil dan adil. Jika BRICS berhasil menciptakan sistem keuangan yang lebih independen, ini bisa menjadi game-changer.
Tantangan dan Peluang Ekonomi
Jika dilihat info dari skala ekonomi negara-negara anggota BRICS, total Growth Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) gabungan telah mencapai US$30,2 triliun atau setara dengan Rp489.546 triliun (asumsi kurs Rp16.230/US$1) berdasarkan data GDP 2024.
Angka sekitar Rp 490.000 triliun sebagai kekuatan ekonomi BRICS yang baru sungguh fantastis. Ini adalah potensi pasar yang luar biasa besar. Saya melihat banyak sekali peluang di sini, terutama dalam sektor-sektor yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan, teknologi digital, dan tentu saja, infrastruktur.
Usulan Presiden Prabowo Subianto mengenai “South-South Economic Compact” adalah ide yang brilian. Ini akan memperkuat kerja sama antarnegara berkembang dan menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih mandiri dan saling menguntungkan.
Penerapan South-South Economic Compact ini akan membutuhkan peta jalan yang jelas dan proyek-proyek percontohan konkret di sektor-sektor strategis seperti energi terbarukan, ketahanan pangan, dan pengembangan infrastruktur digital, yang secara langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Saya yakin, dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas kita di Indonesia, inisiatif ini bisa sukses besar.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa akan ada tantangan. Perbedaan sistem politik, ekonomi, dan bahkan budaya antarnegara anggota BRICS bisa menjadi hambatan. Tetapi, jika semangat kolaborasi dan saling pengertian dikedepankan, saya optimis BRICS akan mampu mengatasi hambatan tersebut.
Meskipun demikian, sejarah BRICS menunjukkan kemampuan adaptasi dan kompromi dalam menghadapi perbedaan ini. BRICS telah berhasil membangun konsensus melalui dialog tingkat tinggi yang intensif, pembentukan lembaga bersama seperti NDB, dan fokus pada area kerja sama yang saling menguntungkan seperti pembangunan infrastruktur dan perdagangan.
Kunci keberhasilan BRICS dalam menghadapi tantangan internal adalah diplomasi yang adaptif dan inklusif, yang mampu mengidentifikasi titik temu kepentingan di balik keragaman, serta mengembangkan mekanisme resolusi konflik yang efektif untuk menjaga stabilitas kerja sama.
Misalnya, dalam menghadapi perbedaan sistem politik, BRICS selalu menekankan prinsip non-intervensi dan penghormatan terhadap kedaulatan nasional, yang menjadi dasar bagi kelancaran kerja sama meskipun kerangka pemerintahan di setiap negara bervariasi. Pendekatan ini memungkinkan BRICS untuk fokus pada tujuan ekonomi bersama tanpa terjebak dalam isu-isu domestik internal.
Semangat persatuan dan perjuangan dalam upaya BRICS untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih adil adalah cerminan dari semangat kemandirian dan keberpihakan pada kaum tertindas.
Saya memandang bahwa partisipasi Indonesia di BRICS adalah langkah konkret untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Ini bukan hanya retorika politik, tetapi aksi nyata untuk membuka pasar baru, menarik investasi, dan memperkuat posisi tawar Indonesia di panggung dunia.
Melalui BRICS, Indonesia dapat mengamankan akses yang lebih baik terhadap teknologi, modal, dan pasar yang sebelumnya mungkin didominasi oleh blok kekuatan lain, sekaligus mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kemandirian ekonomi di arena global.
Kesimpulan
KTT BRICS ke-17 di Rio de Janeiro, 6-7 Juli 2025, bukan hanya sekedar pertemuan puncak, tetapi sebuah perwujudan dari perubahan besar dalam arsitektur global. Dengan perluasan keanggotaan dan agenda yang ambisius, BRICS telah menegaskan dirinya sebagai kekuatan yang tak bisa diabaikan.
Bagi Indonesia, ini adalah kesempatan emas untuk memperkuat posisi kita di mata dunia dan berkontribusi pada terciptanya tata kelola global yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Langkah ini menggarisbawahi komitmen Indonesia dalam memajukan kepentingan nasional di kancah internasional, sekaligus mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kemandirian ekonomi yang selama ini menjadi prinsip dasar Bangsa.
Saya memandang potensi besar dalam pergeseran ekonomi global ini, di mana diversifikasi mata uang dan sistem pembayaran akan membuka jalan bagi stabilitas dan pertumbuhan yang lebih merata.
Dengan semangat Presiden Prabowo Subianto tentang “South-South Economic Compact” dan semangat kekeluargaan yang diusung, Indonesia siap menjadi motor penggerak bagi kesejahteraan bersama Global Selatan, merajut kemitraan strategis demi masa depan yang lebih adil dan berimbang.
Terima Kasih
Jakarta, 9 Juli 2025