Pancasila Ideologi Berpikir Bukan Ideologi Ketakutan ( Refleksi 1 Juni Hari Lahirnya Pancasila)

(Oleh: Ketua K3PP Tubaba)

Apa itu ideologi ? Dalam pengertian keilmuan, ideologi adalah konsep rasional, dapat dikaji, dipelajari, dikritisi. Bukan doktrin mistik. Bukan khayalan fatamorgana. Ideologi adalah jiwa yang bisa hidup atau mati, tergantung bagaimana kita merawatnya.

Ideologi Pancasila sejatinya memuat harapan dan cita-cita. Ia tidak boleh membeku dalam kitab suci kekuasaan. Ia harus bisa tumbuh, berdarah, merasakan denyut masyarakat yang diwakilinya. Tanpa itu ia hanya akan menjadi tugu sunyi: indah dalam pidato, kosong dalam kenyataan.

Sejarah dunia penuh dengan bermacam ideologi. Ada nasionalisme, liberalisme, sosialisme, komunisme, fasisme, feminisme, hingga anarkisme. Banyak diantaranya lahir dari luka sosial dan janji perubahan. Tapi tak semua berhasil.

Fasisme dan komunisme, misalnya, runtuh bukan karena kekuatan senjata lawan tapi karena gagal menjawab kerinduan manusia akan keadilan dan kebebasan. Mereka berubah menjadi ideologi teror ideologi ketakutan yang mengatur sampai isi pikiran rakyatnya.

Di negeri ini kita punya Pancasila. Setiap tanggal 1 Juni kita memperingati “ Hari Lahirnya Pancasila”. Pancasila bukan keris pusaka yang hanya diangkat saat upacara. Bukan jimat yang disimpan dalam peti sejarah. Pancasila harus hadir dalam nafas kehidupan masyarakat.

Tapi hari ini, seringkali Pancasila diperlakukan seperti dogma tertutup. Siapa yang berbeda tafsir dianggap sesat. Siapa yang mengkritik dituduh anti-NKRI. Maka lahirlah jargon-jargon ” Paling Nasionalis” ” Paling Pancasilais” yang tak lebih dari klaim kuasa atas tafsir ideologi. Pancasila jadi alat penghakiman bukan ruang percakapan bukan ruang dialog kebebasan berpikir.

Padahal Pancasila seharusnya menjadi ideologi berpikir. Pancasila hidup karena bisa dipikirkan, diuji, bahkan dikritik. Rakyat harus punya hak bertanya apakah benar nilai ” kemanusiaan yang adil dan beradab ” telah nyata? Apakah ” keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ” hanya sekadar kalimat indah dalam buku teks?

Jika yang miskin tetap digusur atas nama pembangunan. Jika suara rakyat ditindas demi atas nama stabilitas lalu dimana Pancasila kita letakkan? Jika yang kaya makin berkuasa dan yang lemah semakin terpinggirkan bukankah kita sedang menjauh dari ruh ideologi itu sendiri.

Sebagaimana pesan Rhoma Irama dalam baitnya: ” Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin…” Jangan sampai ini menjadi potret utuh bangsa yang katanya berideologi Pancasila.

Jangan biarkan Pancasila jadi mitos agung yang tak bisa disentuh. Jangan biarkan Pancasila mati perlahan dalam pidato-pidato megah yang tak pernah menyentuh bumi. Biarkan Pancasila berpikir. Biarkan rakyat menafsirkan. Biarkan Pancasila menjadi milik semua bukan monopoli segelintir elite untuk memberi argumen atas kehendaknya sendiri.

Karena sejatinya Pancasila “ tidak sakti “ karena tahan pukulan. Pancasila sakti jika mampu memberi rasa adil dan merangkul manusia dalam kemanusiaan. Dan itu hanya mungkin jika Pancasila terus hidup dalam pikiran dalam tindakan, dalam cinta kepada sesama.

MesujiTubabaWay kanan
Comments (0)
Add Comment